Rabu, 30 April 2008

PERANAN PEREMPUAN DALAM KONSERVASI ALAM


Di bumi ini manusia menikmati begitu banyak karunia yang memang sudah disediakan oleh Tuhan, seperti tumbuhan, hewan, juga benda mati seperti udara, sinar matahari, tanah dan lainnya termasuk hasil dari perut bumi. Setiap manusia memiliki hak atas kekayaan alam ini, entah terbagi dengan adil atau tidak, namun disadari atau tidak mereka sudah menikmatinya. Kekayaan alam tersebut ada yang langsung dapat dinikmatinya seperti oksigen, ada pula yang harus diusahakan terlebih dahulu seperti hasil laut atau tambang.


Setiap manusia terikat kewajibannya, selain memiliki hak atas sesuatu. Tak mungkin sesorang hanya menuntut haknya tanpa mau menunaikan kewajibannya. Demikian halnya dengan konservasi alam, setiap orang wajib melakukannya, karena dia sudah menikmatinya secara langsung maupun tidak langsung. Setiap orang baik laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin juga dari berbagai golongan, baik agama, suku bangsa, bangsa, maupun ras, semua terlibat dalam pelestarian alam, ini sesuai dengan Pasal 4 U.U. No. 5 Tahun 1990.
Konservasi alam di dalam tulisan ini membahas tentang konservasi sumber daya alam hayati. Definisi menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 1 butir 2 sebagai berikut, ”Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.” Selanjutnya di Pasal 4 tertulis bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan masyarakat.


Namun dengan ego manusia yang tinggi, orang cenderung melakukan tindakan apa saja bila hasil tindakan itu akan menguntungkan dirinya. Dalam kasus bencana alam, orang-orang yang belum pernah terkena bencana alam memiliki kadar simpati yang lebih rendah dibandingkan mereka yang pernah mengalami bencana yang serupa. Oleh karena sifatnya tersebut maka tidak semua orang mau berkecimpung di bidang pelestarian alam atau peduli tentang perlunya pelestarian alam, bahkan akibat ketamakannya malah mereka merusak alam demi kekayaan dan kejayaan, di samping orang-orang miskin yang terpaksa mengusahakan lahan-lahan marginal untuk mempertahankan hidupnya.


Rusaknya suatu ekosistem alam di sekitar pemukiman akan sangat mempengaruhi kehidupan keluarga di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan semakin berkurangnya pasokan bahan pangan dan lainnya. Selain itu, semakin jauh jarak yang harus ditempuh untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya, berarti semakin mahal biaya yang harus dikeluarkannya. Wajarlah bila para perempuan berkepentingan untuk mempertahankan kelestarian alam di sekitar tempat tinggal mereka termasuk keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan demi ketahanan pangan keluarga.


Berbicara tentang perempuan pedesaan dan perempuan perkotaan, tentunya terdapat perbedaan, khususnya menyangkut keterlibatan mereka di dalam pelestarian alam. Bila perempuan pedesaan langsung terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, perempuan perkotaan, secara tidak langsung. Perempuan desa sadar dan menghayati konservasi alam secara langsung melalui pengalaman meskipun mereka tidak tahu tentang konsep-konsep canggih dari konservasi alam.


Berbeda dengan perempuan kota, mereka baru sadar dan menghayati perlunya konservasi alam bila mereka sudah memperoleh banyak informasi yang terus menerus tentang konservasi alam itu melalui media massa (televisi, koran, majalah), dari internet, dari buku-buku maupun dari sekolah atau berbagai pertemuan/pergaulan sehingga dapat memicu kesadaran mereka. Dilihat dari sepak terjang atau keterlibatan dalam menjaga kelestarian alam, perempuan desa dan perempuan kota akan sama agresifnya bila menyangkut kepentingannya. Pada dasarnya perempuan itu mampu memikirkan kebutuhan jangka panjangnya bila sudah menyangkut kesejahteraan “dunia kecilnya”, dirinya dan anak-anaknya. Yang menjadi hambatan utama adalah pengambil keputusan di dalam keluarganya bukanlah dia, tetapi suami atau keluarga laki-laki lainnya. Oleh karena keterbatasan pendidikan yang mereka terima, perempuan desa dianggap tidak mampu mengambil keputusan yang benar. Padahal karena memikirkan kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari atau dalam waktu jangka panjang itulah dan juga demi kepentingan mereka lainnya, mereka lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Perempuan kota lebih beruntung, khususnya mereka yang sempat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Mereka dapat terlibat bahkan berkecimpung dalam gerakan konservasi alam berdasarkan kesadaran yang mereka peroleh dari informasi yang dapat menumbuhkan rasa simpati serta dekatnya aksesibilitas ke jalur pengambilan keputusan. Berbagai lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung di bidang pelestarian alam di kota-kota besar banyak yang memiliki anggota bahkan pengurus perempuannya. Sayangnya belum banyak perempuan yang berkedudukan sebagai pengambil keputusan di tingkat atas/elit politik yang dapat langsung memberikan kontribusi terhadap konservasi alam.


Sebagaimana tertulis dalam World Resources Institute Article bahwa peran penting perempuan dalam manajemen biodiversitas dan sumber daya alam hayati harus diakui dan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan harus dijamin pada semua tingkatan manajemen sumber daya alam hayati. Kegagalan usaha dan proyek yang tidak diakui dan tidak melibatkan perempuan, misalnya skema kehutanan di Asia yang mengabaikan banyaknya hasil hutan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit oleh perempuan, perencanaan agrikultur di Afrika yang mengabaikan peran sentral perempuan sebagai petani dan proyek peningkatan pendapatan di Amerika Selatan yang melupakan pentingnya pendapatan perempuan untuk kesejahteraan keluarga, memberikan kesaksian akan pentingnya aksi tersebut.


Di bidang konservasi alam sebenarnya tidak dikenal istilah gender, perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Masalah gender di bidang konservasi alam lebih banyak dihadapi oleh perempuan pedesaan, karena mereka langsung berhadapan dengan benturan kepentingan antara keuntungan ekonomi jangka pendek dan kelestarian alam, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk dapat ikut serta di dalam pengambilan keputusan. Perempuan perlu diberi kesempatan yang lebih luas di dalam proses pengambilan keputusan, karena mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan pria dan mempunyai kebutuhan atau kepentingan sendiri.
Sekali lagi dapat dikatakan bahwa tindakan pelestarian alam itu merupakan kewajiban bagi setiap manusia, tak terlupakan perempuan. Setiap orang yang sudah menikmati haknya, dia wajib menjaganya.
Salam lestari!

Rabu, 23 April 2008

Masyarakat dan kawasan konservasi alam

Kasus perambahan kawasan konservasi di Indonesia semakin meningkat frekuensi kejadiannya setelah era reformasi dan krisis moneter menimpa Indonesia di tahun 1997-1998 hingga saat ini. Kejadian tersebut disebabkan oleh banyak hal, antara lain konflik perwilayahan saat ditetapkan kawasan konservasi tersebut, tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat di sekitar, kesulitan ekonomi akibat pembangunan yang tidak imbang perkotaan-perdesaan hingga kurangnya pekerjaan di perdesaan.

Untuk menjadi keberlanjutan suatu kawasan konservasi, keterlibatan masyarakat setempat hendaknya diberi prioritas utama, bukan sekedar embel-embel saja. Hal ini sudah tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Hayati dan Ekosistemnya di Bab IX Peranserta Rakyat Pasal 37, yaitu:
(1) Peranserta rakyat dalam konservasi SDA hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

Untuk melibatkan masyarakat lokal tersebut, juga disebut dengan komunitas, perlu dilakukan analisis kebutuhan dari komunitas itu sendiri. Anggota komunitas dianggap sebagai subyek pembangunan, bukan sekedar obyek saja. Di sinilah diperlukan peneliti sosial untuk mengetahui lebih mendalam kebutuhan anggota komunitas-komunitas di sekitar kawasan konservasi tersebut. Setiap kawasan akan memiliki data spesifik mengenai masyarakat di sekitarnya, karena masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut belum tentu sama budaya dan interaksi sosialnya, sehingga pengelolaan suatu kawasan dapat berbeda satu sama lainnya.

Menurut MacKinnon et al. (1993), pengelola kawasan konservasi dapat melindungi kawasannya sendiri dari ancaman dan kerusakan yang tak alami, tetapi kebijakan ini tidak mungkin berjalan dan terjamin untuk jangka panjang tanpa dukungan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam adalah untuk rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat menggagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan.

Hal yang penting dalam menumbuhkan kerjasama dan peran serta masyarakat ini melalui kepercayaan sosial (social trust). Antara komunitas setempat dan pengelola harus ada kepercayaan tentang manfaat yang mereka peroleh dari interaksi di antara mereka.
Fukuyama (1999) menyebutkan kemerosotan kepercayaan ini merupakan suatu kekacauan sosial (The Great Disruption). Di sinilah perlunya pendekatan dari pihak pengelola kawasan konservasi kepada masyarakat mengenai visi dan misi kawasan konservasi tersebut serta manfaat langsung yang dapat diperoleh masyarakat setempat, dan perlu dicari pemecahan yang “win-win solution”, kedua pihak saling mendapat untung.
Sekian dulu artikel ini dan disambung di artikel lainnya. Salam lestari!

Masyarakat terlibat dalam konservasi alam

Masyarakat Indonesia telah memanfaatkan keanekaragaman hayati (biodiversitas) sudah berabad-abad dengan berbagai cara. Namun demikian, pemanfaatan tersebut belum tentu dengan cara yang ramah lingkungan. Penggunaan cara yang destruktif ini akan merupakan suatu ancaman terhadap biodiversitas itu sendiri. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan cara yang ramah lingkungan yang merupakan suatu upaya konservasi (pelestarian) alam yaitu pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati (kehati) di Indonesia sesuai amanat UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pemanfaatan secara lestari ini tampak dari keanekaragaman obat-obatan yang berasal dari herba dan kekayaan jenis makanan (kuliner), yang hingga saat ini masih dimanfaatkan. Bertahannya keanekaragaman obat dan makanan tersebut hingga hari ini tak lepas dari usaha pelestarian biota khususnya tumbuhan yang merupakan bahan baku dari keperluan tersebut. Partisipasi masyarakat dalam melestarikan biodiversitas antara lain melalui aksi dan upaya KIE (komunikasi, informasi dan edukasi).

Aksi pemanfaatan secara lestari telah diwujudkan dalam bentuk penangkaran satwa dan budidaya tanaman. Usaha ini dilakukan karena mereka telah melihat keuntungan secara ekonomi dari komoditas tersebut, sehingga untuk menjaga kesinambungan pasokan maka dilakukan upaya penangkaran dan budidaya tersebut. Contoh dari penangkaran satwa ini antara lain penangkaran buaya, penangkaran berbagai jenis burung yang telah dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia. Contoh dari budidaya tanaman sudah umum dilakukan oleh masyarakat seperti terhadap tanaman obat dan tanaman hias.

Dalam rangka menghadapi ancaman terhadap biodiversitas, maka diperlukan komunikasi antara pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pihak pemerintah dengan masyarakat pemanfaat. Macetnya komunikasi antar pemangku kepentingan akan menghambat upaya pelestarian kehati di Indonesia. Untuk keperluan ini memang diperlukan keahlian berkomunikasi, agar terjadi pertukaran informasi.

Penyebaran informasi yang benar pun harus dilaksanakan, sehingga dapat diketahui mana yang telah melanggar aturan dan mana yang tidak. Informasi ini dilandasi oleh pengumpulan data yang akurat dan up-to-date. Pemenuhan keperluan data ini terkait dengan komunikasi yang lancar antara berbagai pihak pemangku kepentingan.

Setelah terjadi komunikasi dan penyebaran informasi ini selanjutnya dilakukan upaya edukasi (pendidikan dan pelatihan). Upaya yang dilakukan ini dalam bentuk pendidikan informal di tingkat rumahtangga atau keluarga dan pendidikan non formal di tingkat institusi dengan melakukan kursus atau pelatihan, juga di pendidikan formal yang materi terintegrasi dalam kurikulum.Sekian dulu artikel ini dan disambung di artikel lainnya. Salam lestari!