Kamis, 19 Maret 2009

DOA PERJALANAN

Dalam rangka mendukung mobilitas kesehari-harian, kita pasti memerlukan transportasi, maklum kita tidak mungkin jalan kaki untuk jarak yang jauh... Saya pun sudah mengalami berbagai pengalaman dengan menggunakan berbagai jenis moda transportasi, baik di darat, di perairan dan udara. Transportasi darat yang pernah saya gunakan, mulai dari yang beroda dua hingga roda banyak (seperti bis, truk, juga kereta), kecuali yang beroda satu alias sepeda sirkus...ya...belum pernah. Transportasi air mulai dari sampan yang harus kita dayung sendiri, perahu nelayan, speedboat, ferry hingga kapal penumpang sudah pernah saya tumpangi. Transportasi udara hanya pesawat komersil saja, helikopter dan pesawat tempur belum pernah saya tumpangi. Meskipun berbagai macam moda sudah saya gunakan, termasuk jalan kaki yang merupakan moda transportasi alami dan tertua di dunia, tetap saja ke mana-mana saya harus berdoa. Saya selalu tidak merasa yakin akan kepastian selama dalam perjalanan tersebut, baik dalam hal keselamatan dan keamanan (jangan tanya tentang kenyamanan, kemacetan di jalan itu sudah hal yang sehari-hari harus dihadapi orang yang hidup di sekitar Jabodetabek, termasuk juga terlambat dalam pemberangkatan/delay again...delay again...capek deh...).

Doa perjalanan yang pertama saya hafal adalah: “Bismillaahi tawakkaltu ‘alallahi wa laa haula wa laa quwwata illa billaah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Mu bahwa tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah).
Setelah doa yang pertama tersebut, saya mulai menghafal doa perjalanan yang kedua yang berbunyi: “Bismillaahi majrehaa wa mursaahaa, inna rabbii laghafuururr-rahiim” (Dengan nama Allah-lah perjalanan serta berlabuhnya kendaraan ini, sesungguhnya Allah (Tuhanku) Maha Pengampun lagi Penyayang).

Yah...dua doa inilah yang menemani saya ke mana saja saya melangkah, namun saya juga masih ber-dzikir selama di jalan. Sekali lagi, kita tidak pernah pasti selama di jalan. Sebenarnya ada satu doa lagi yang sering dibaca oleh suami dan anak-anak saya, tetapi saya tidak hafal-hafal juga (maklum...telat belajarnya, setelah tua, jadi memorinya pas...pas..an..).

Pada tahun 2006, saya bertugas ke pulau Lombok. Perjalanan ditempuh melalui udara. Selesai tugas di P. Lombok, saya pun harus meneruskan tugas di P. Bali. Dari P. Lombok ke P. Bali ditempuh melalui udara juga. Pesawat yang saya tumpangi, tampak OK...luarnya, tetapi begitu masuk ke dalam pesawat...mulai hati saya berdetak lebih keras...masya Allah......suara baling-baling pesawat (karena bukan pesawat jet) terdengar begitu keras dan begitu tidak meyakinkannya, ditambah lagi ternyata pramugarinya hanya dua dan yang satu ternyata masih trainee. “What can I do?” Di depan kursi ada petunjuk (manual) tentang keselamatan perjalanan, dan juga ada manual doa-doa dari berbagai agama. Akhirnya saya pun baca semua doa (agama Islam) yang ada di manual, termasuk yang sulit saya hafal tersebut. Selama 30 menit perjalanan, saya akhirnya bisa menghafal doa tersebut, karena diulang-ulang terus dengan hati yang deg..deg..an. Doa ketiga tersebut berbunyi: “Subhaanalladzii sakh-khara lanaa haadzaa wa maa kunnaalahuu muqriniina wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuun” (Maha suci Allah yang menggerakkan kendaraan ini untuk kita, padahal kita tidak kuasa untuk menundukkannya, dan sesungguhnya kita pasti akan kembali kepada Allah). Alhamdulillaah. Akhirnya kami mendarat dengan selamat...dan sekarang saya dapat menulis kejadian tersebut.

Sesungguhnya saya sudah pernah mengalami beberapa kejadian yang cukup mendebarkan saat naik pesawat. Kejadian pertama di tahun 1974, saat itu kami sekeluarga harus segera pergi ke Solo untuk menjenguk nenek yang sedang sakit keras. Bandara Adi Sumarmo Solo masih baru selesai dibangun. Perjalanan tersebut menggunakan pesawat jenis DC-8 yang menggunakan baling-baling. Sekitar 10 menit lagi pesawat akan mendarat, tiba-tiba baling-baling mati satu (dari empat baling-baling). Berhubung bandara Solo belum memiliki teknisi, maka pesawat kembali ke Jakarta. Mendekati Jakarta, satu baling-baling mati lagi, jadi pesawat hanya digerakkan dengan dua baling-baling saja dan agak melayang, dan akhirnya dapat mendarat dengan selamat. Setelah diperbaiki beberapa jam, kami pun berangkat lagi, dan berhasil mendarat di Solo dengan selamat...alhamdulillaah. Mungkin karena saya masih kanak-kanak, maka masih punya keberanian sedikit banyak untuk bertualang ya...

Kejadian lainnya adalah saat pada tahun 1999, saya mendapat tugas meninjau kebakaran hutan di Kalimantan Timur. Keberangkatan pesawat pun beberapa waktu ditunda (delay..delay..again), karena menunggu kondisi di bandara Balikpapan terang dulu dari gangguan asap. Akhirnya kami pun berangkat. Perjalanan Jakarta-Balikpapan ditempuh dalam waktu dua jam. Pas...perjalanan satu jam di atas Laut Jawa, tiba-tiba pesawat turun mendadak alias anjlok, karena melewati udara kosong....ya....jantung saya pun serasa copot....blank...rasanya saya hanya mampu ucapkan “Laa illaaha illallah” (Tiada tuhan selain Allah)...sambil menunggu nasib dan menunggu masker oksigen jatuh yang mengindikasikan turunnya tekanan atmosfir dalam kabin...eh...ternyata masker tidak jatuh berarti........alhamdulillah...anjloknya tidak terlalu jauh. Kami pun mendarat dengan selamat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Meskipun demikian, kami (saya dan bos) masih deg-deg-an. Rencana perjalanan langsung dilanjutkan ke Samarinda terpaksa ditunda, kami pun menginap di Balikpapan. Di Balikpapan, bos saya menghibur saya dengan mengatakan “Murni, kalaupun kita jatuh di atas laut, masih bisa mengapung kok. Lebih untung daripada jatuh di daratan”. Rupanya beliau berusaha menghibur saya, kuatir mendadak saya trauma naik pesawat, sehingga minta pulang lewat laut saja... Kami akhirnya tetap pulang naik pesawat... Setelah kami masuk kantor kembali di Jakarta, bos saya mengkoreksi ucapannya, “Murni, sebenarnya kalau pesawatnya nukik masuk ke laut pun, kita juga tak mungkin terapung. Pasrah sajalah...” He...he....beliau orang yang bijak, tahu harus berkata apa di saat genting....
Wa Allahu ‘alam....