Jumat, 03 April 2009

GENDER DAN PARTISIPASI POLITIK

Salah satu bentuk partisipasi politik warga negara di mana pun mereka berada adalah partisipasi dalam pemilihan umum, termasuk juga pemilihan kepala negara/daerah. Warga negara yang merdeka dan sudah memenuhi persyaratan untuk memilih dan dipilih sudah seharusnya memenuhi kewajiban dan haknya untuk menentukan pilihannya. Meskipun ada hak untuk tidak ikut memilih, tetapi yang paling baik adalah melaksanakan kewajiban untuk memilih. Tuhan lebih suka orang yang mendahulukan melaksanakan kewajibannya daripada menuntut haknya, memang itulah yang sewajarnya laksanakan kewajiban dulu baru mendapat hak.

Jadilah orang yang konsekwen. Orang yang sudah memilih (berarti melaksanakan kewajibannya), punya hak untuk berkomentar, entah memuji atau mengkritisi kepimpinan yang terpilih di kemudian hari. Namun orang yang tidak mau memilih alias golput/golongan putih (istilah yang aneh...menurut saya...putih dari apa? apa mereka termasuk orang suci?) yang berarti tidak melaksanakan kewajibannya, ya...harusnya diam saja...mereka sudah melepaskan haknya akibat tidak mau melaksanakan kewajibannya. Jika orang yang golput ini ikut berkomentar, dia termasuk orang yang tidak konsekwen dan tidak berani mengambil resiko (mungkin juga dapat digolongkan pengecut). Orang yang konsekwen adalah ksatria yaitu Berani bertindak dan berani menanggung resiko.

Pada saat pemilihan, kita memang tidak tahu apa isi hati manusia, apa motivasi seseorang untuk menjadi pemimpin atau anggota legislatif, apa mungkin ada maksud untuk kepentingan diri sendiri (hidden agenda) dibandingkan untuk kepentingan masyarakat. Namun kita tetap perlu memilih dari sekian banyak orang, mana yang masih takut kepada Tuhan, mana yang memiliki sejarah (track record) yang baik dan yang buruk, ingat prinsip konsumen “Teliti sebelum membeli”, jadi “Telitilah sebelum memilih”. Selanjutnya, kita kembalikan kepada Tuhan sebagai penentu kehidupan di dunia ini, kita harus ingat kepada Surat Ar Ra’d ayat 11 yang artinya:”...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”.

Pemilu atau pemilihan pimpinan merupakan suatu momen pengambilan keputusan bagi warga negara lelaki dan perempuan yang sudah memenuhi syarat. Bagi lelaki, pengambilan keputusan tidak ada masalah, tetapi bagi perempuan, khususnya di daerah perdesaan, momen ini dapat menimbulkan masalah. Masalah bagi perempuan adalah keharusan untuk mengikuti pilihan anggota keluarga lelakinya, misal ayah atau suami atau abangnya. Jika perempuan ingin memilih yang berbeda dengan pilihan anggota keluarga lelaki konflik pun dapat muncul...ujung-ujungnya ada pertengkaran, mungkin juga KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Meskipun prinsip pemilihan ini adalah LUBER (Langsung Bebas dan Rahasia), tetap saja sebagian kaum perempuan di perdesaan tidak bebas dalam memilih. Ditambah lagi kurangnya informasi yang akurat, sehingga terjadilah penggiringan dalam memilih. Tidak tertutup kemungkinan dengan ucapan “Perempuan tahu apa...”, membuat pihak perempuan menjadi sedikit apatis dalam memilih. Dengan demikian, momen pemilihan ini adalah salah satu cara untuk memulai kesetaraan gender dalam keluarga dalam hal partisipasi politik, yaitu dengan membebaskan kaum perempuan untuk bebas memilih sesuai hatinya. Kaum lelaki (ayah atau suami) memulai memberi kebebasan dalam pengambilan keputusan kepada istri atau anak perempuannya. Ini termasuk upaya untuk mencerdaskan kaum perempuan yang terpinggirkan. Mungkin efeknya tidak tampak nyata, tetapi adanya pengakuan dari suami/ayah ini merupakan nilai tambah untuk mereka dilihat dari kacamata istri/anaknya.

Dalam Islam, lelaki dan perempuan terlibat dalam berpartisipasi di bidang politik termasuk dalam pengambilan keputusan. Rasulullah saw melibatkan kaum perempuan dalam pengambilan keputusan. Salah satu istri Rasulullah saw yang sering diajak diskusi adalah Umi Salamah. Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya Islam tidak menghalangi kaum perempuan dalam berpartisipasi politik. Pengambilan keputusan yang terbaik dalam Islam adalah dengan bermusyawarah, yang dapat disebut juga mencari "win-win solution", sehingga semua pihak merasa aspirasinya terakomodir.

Kesimpulannya:
1. Dahulukan kewajiban daripada hak.
2. Jadilah orang yang konsekwen.
3. Jangan takut salah, yang penting sudah memiliki niat yang lurus yaitu melakukan yang terbaik untuk nusa dan bangsa.
4. Warga negara lelaki dan perempuan wajib laksanakan kewajibannya dalam kehidupan politiknya.

Sesungguhnya hanya kepada ALLAH SWT-lah, kita wajib takut. Wa Allahu ‘alam.

Tidak ada komentar: