Rabu, 23 April 2008

Masyarakat dan kawasan konservasi alam

Kasus perambahan kawasan konservasi di Indonesia semakin meningkat frekuensi kejadiannya setelah era reformasi dan krisis moneter menimpa Indonesia di tahun 1997-1998 hingga saat ini. Kejadian tersebut disebabkan oleh banyak hal, antara lain konflik perwilayahan saat ditetapkan kawasan konservasi tersebut, tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat di sekitar, kesulitan ekonomi akibat pembangunan yang tidak imbang perkotaan-perdesaan hingga kurangnya pekerjaan di perdesaan.

Untuk menjadi keberlanjutan suatu kawasan konservasi, keterlibatan masyarakat setempat hendaknya diberi prioritas utama, bukan sekedar embel-embel saja. Hal ini sudah tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Hayati dan Ekosistemnya di Bab IX Peranserta Rakyat Pasal 37, yaitu:
(1) Peranserta rakyat dalam konservasi SDA hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

Untuk melibatkan masyarakat lokal tersebut, juga disebut dengan komunitas, perlu dilakukan analisis kebutuhan dari komunitas itu sendiri. Anggota komunitas dianggap sebagai subyek pembangunan, bukan sekedar obyek saja. Di sinilah diperlukan peneliti sosial untuk mengetahui lebih mendalam kebutuhan anggota komunitas-komunitas di sekitar kawasan konservasi tersebut. Setiap kawasan akan memiliki data spesifik mengenai masyarakat di sekitarnya, karena masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut belum tentu sama budaya dan interaksi sosialnya, sehingga pengelolaan suatu kawasan dapat berbeda satu sama lainnya.

Menurut MacKinnon et al. (1993), pengelola kawasan konservasi dapat melindungi kawasannya sendiri dari ancaman dan kerusakan yang tak alami, tetapi kebijakan ini tidak mungkin berjalan dan terjamin untuk jangka panjang tanpa dukungan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam adalah untuk rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat menggagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan.

Hal yang penting dalam menumbuhkan kerjasama dan peran serta masyarakat ini melalui kepercayaan sosial (social trust). Antara komunitas setempat dan pengelola harus ada kepercayaan tentang manfaat yang mereka peroleh dari interaksi di antara mereka.
Fukuyama (1999) menyebutkan kemerosotan kepercayaan ini merupakan suatu kekacauan sosial (The Great Disruption). Di sinilah perlunya pendekatan dari pihak pengelola kawasan konservasi kepada masyarakat mengenai visi dan misi kawasan konservasi tersebut serta manfaat langsung yang dapat diperoleh masyarakat setempat, dan perlu dicari pemecahan yang “win-win solution”, kedua pihak saling mendapat untung.
Sekian dulu artikel ini dan disambung di artikel lainnya. Salam lestari!

Tidak ada komentar: