Senin, 21 Desember 2009

PEREMPUAN SEBAGAI PERHIASAN

Arti dari ayat 18 Q.S. Az Zukhruf:”Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran”. Keterangan (footnote)-nya bahwa ayat ini menggambarkan keadaan perempuan Arab pada waktu Al Qur’an ini diturunkan. Mereka tidak diberi kesempatan dalam pendidikan, sehingga kurang kecerdasannya dan hanya dijadikan perhiasan saja. Perempuan tidak mempu bersikap tegas, garang, dan jelas menyampaikan kehendaknya untuk memperoleh kemenangan.

Saat saya membaca ayat tersebut, saya tertegun karena perihal perempuan sebagai perhiasan itu tidak saja ada pada zaman Nabi, tetapi sekarang pun masih ada praktek tersebut. Perempuan tersebut hanya dijadikan alat atau obyek untuk mencari kekayaan atau kekuasaan oleh orangtuanya atau kerabat lelakinya. Mereka hanya dididik untuk bersolek, bersikap memikat hati lelaki dan penurut karena tidak punya kemampuan untuk bersikap. Sikap yang telah ditanamkan itu adalah sikap materialisme; kekayaan harta adalah sesuatu yang penting. Dengan kekayaan harta, maka martabat keluarga pun meningkat, prestise dan gengsi pun meningkat.

Kebalikan dari zaman Nabi, di mana kelahiran anak lelaki sangat diharapkan, sedangkan kelahiran anak perempuan bagaikan aib. Tempat di mana perempuan menjadi hiasan tersebut, kelahiran anak perempuan bagaikan berkah, sedangkan kelahiran anak lelaki merupakan beban bagi keluarga. Semua itu disebabkan prinsip materialisme yang mereka anut, yaitu anak perempuan dapat menjadi aset untuk memperoleh kekayaan, sedangkan anak lelaki tidak dapat menjadi aset, harus dibiayai untuk hidup dan belum tentu mendatangkan kekayaan.

Solusi yang dari keadaan yang tidak Islami ini adalah dengan (1) mengubah secara perlahan paradigma (cara berfikir) materialisme tersebut, melalui pendidikan informal berupa pendekatan personal. Pelaku atau agen perubahan tersebut dapat berprofesi sebagai guru agama atau guru lainnya, aparat pemerintah atau masyarakat yang peduli terhadap masalah sosial. Selain itu, juga melalui (2) peningkatan peluang kerja guna meningkatkan kesejahteraan mereka melalui pendidikan formal dan non formal berupa kursus ketrampilan. Semakin cerdas dan trampil seseorang maka mereka pun mampu mengubah nasib mereka sendiri.

Kita harus ingat kepada firman Allah Q.S. Ar Ra’d ayat 11 yang artinya:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ini menunjukkan bahwa manusia itu pada umumnya cerdas, hanya aktif (rajin) atau malas untuk berinisiatif, berupaya dan berkreasi untuk mengubah dirinya sendiri.
Wal Allahu ‘alam.

Tidak ada komentar: