Sabtu, 12 Desember 2009

SITI HAJAR r.a.

Alhamdulillah, sehari setelah kami kembali dari ibadah haji 1430 H, saya membaca artikel di Tabloid REPUBLIKA Dialog Jumat, 4 Desember 2009 yang berjudul “Siti Hajar dan Spirit Berkorban Muslimah”. Artikel tersebut menarik perhatian saya, mengingat saat saya melaksanakan Sa’i, yaitu perjalanan bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah 7 kali masing-masing 800 m, saya merasa perjuangan Siti Hajar r.a saat itu luar biasa demi mencari air minum bagi buah hatinya yaitu Ismail, padahal di bawah teriknya panas matahari.

Sa’i merupakan salah satu rukun dari ibadah Haji dan Umrah, tanpa melaksanakan Sai maka Haji dan Umrah-nya tidak sah. Perintah melaksanakan Sai ini tercantum dalam ayat 158 Surat Al Baqarah yang artinya:”Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama Allah). Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui”. Ayat ini dibaca saat kita akan memulai pertama kali Sa’i di Bukit Shafa.

Kembali lagi kepada Siti Hajar r.a. Beliau adalah seorang istri dan ibu yang ditinggalkan oleh suaminya, Nabi Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT. Hal ini sudah merupakan keputusan Allah SWT yang pasti ada hikmahnya, sebagai umat beriman maka perintah-Nya wajib dilaksanakan. Siti Hajar r.a seorang diri menghidupi dan mendidik anaknya Ismail yang kelak menjadi seorang nabi seperti ayahnya. Karakter Nabi Ismail a.s sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an adalah seorang (nabi) yang sabar (Surat Al Anbiya ayat 85) dan seorang yang tergolong paling baik (Surat Shad ayat 48). Kepribadian Nabi Ismail a.s terbentuk, selain dari hidayah Allah SWT, juga tak lepas dari hasil didikan ibunda yang bertakwa kepada Allah SWT dan tempaan keadaan yang ditinggalkan oleh sang ayah di tempat yang tergolong terpencil dan keras, yaitu di padang pasir yang gersang dan tandus. Saya dapat membayangkan kondisi tersebut setelah saya berada di sana, apalagi jika dibandingkan dengan tanah air kita yang hijau. Apapun juga Allah SWT tidak akan meninggalkan umatnya yang bertakwa seorang diri, inilah yang diyakini oleh Siti Hajar r.a.

Saat masih muda pun sifat sabar dan tawakalnya Nabi Ismail a.s sudah teruji dengan peristiwa berkurbannya beliau untuk disembelih oleh ayahandanya Nabi Ibrahim a.s sebagaimana tercantum dalam QS. As Shaffaat: 102: ”Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim as) berkata, “"Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail as) menjawab, “Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Saat penyembelihan itu akan dilaksanakan, iblis mengganggu iman tiga insan tersebut agar tidak melaksanakan perintah Allah, ketiganya pun melemparkan batu kerikil kepada iblis tersebut untuk mengusirnya, yang kemudian menjadi bentuk ibadah Lontar jumrah yang dilaksanakan pada saat ibadah haji.

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4). Ada tiga peristiwa yang terkait keluarga Nabi Ibrahim a.s, Nabi Ismail a.s dan Siti Hajar r.a yaitu: Sa’i, lontar jumrah dan kurban, yang memiliki tingkatan hukum (berurutan) rukun haji dan umrah, wajib haji dan sunnah. Kesuritauladanan itu berupa ketakwaan mereka terhadap perintah Allah SWT, yang kita kenal dengan “Sami’na wa atha’na” (Kami mendengar dan kami taat). Kepada Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya, kita pun membacakan shalawat, setelah shalawat bagi Nabi Muhammad s.a.w, di bacaan tasyahud ‘akhir pada setiap kita shalat.

Kesimpulan dari tulisan tentang Siti Hajar r.a ini adalah seorang ibu adalah pendidik pertama dalam keluarga. Seorang ibu yang bertakwa dan ulet akan menghasilkan anak yang bertakwa dan ulet pula, karena anak menjadi orangtuanya sebagai contoh pertama dalam hidupnya. Siti Hajar pun tergolong sabar karena menerima semua keputusan Allah SWT, mulai dari ditinggal oleh suami di tempat terpencil hingga harus menghidupi serta mendidik anaknya seorang diri. Oleh karena itu, adalah suatu wajar jika anaknya, Ismail a.s menjadi seorang yang sabar.

Catatan tambahan:

1. Saya menulis nama Siti Hajar r.a yaitu radhiallahu ‘anha (semoga Allah SWT ridho kepadanya) mungkin sesuatu yang tidak umum. Alasan saya adalah Siti Hajar termasuk seorang yang bertakwa kepada Allah SWT dan di kemudian hari tindakannya pun jadi salah satu rukun dalam ibadah haji dan umrah yang merupakan salah satu rukun Islam, Jadi adalah suatu kewajaran jika saya mendoakan beliau sedemikian rupa dengan alasan ketakwaan beliau yang melahirkan anak yang bertakwa dan berkualitas.

2. Saya terusik dengan pendapat seseorang muslim (mungkin juga orang-orang lain yang terpengaruh oleh pemikiran non Islam) yang menyatakan bahwa yang akan disembelih itu dapat Ismail a.s juga dapat Ishaq a.s. Bila seseorang menyangsikan siapa sesungguhnya yang menjadi ‘kurban’ dalam perintah Allah SWT tersebut, antara Ismail a.s dan Ishaq a.s, silahkan membaca secara lengkap surat As Shaffaat ayat 102 tentang tanya-jawab bapak dan anak (Ibrahim a.s dan Ismail a.s) sampai ayat 112 tentang rahmat Allah berupa kelahiran Ishaq a.s., yaitu adanya peristiwa pertama yaitu peristiwa kurban, yang dilanjutkan dengan peristiwa kedua yaitu kelahiran Ishaq; tak mungkin ada pengurbanan seseorang jika yang akan dikurbankan belum lahir. Kronologis suatu peristiwa sudah jelas, isi/makna dapat tersurat juga dapat tersirat. Bagi saya, Al Qur’an adalah sebuah kitab yang benar dan ilmiah bagi orang yang bersedia membaca dengan hati dan rasional ('ainul yaqin), sebagaimana firman Allah SWT di surat Al Kahfi ayat 1 yang artinya "Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok" (keterangan: tidak ada dalam Al Qur'an makna yang berlawanan dan tidak ada penyimpangan dari kebenaran).

Wal Allahu ‘alam.

Tidak ada komentar: